-->



Theme Layout

Theme Translation

Trending Posts Display

"No"

Home Layout Display

Posts Title Display

"No"

404

We Are Sorry, Page Not Found

Home Page

Sajian sego menok dan aneka lauk pendamping. Foto: MSY/writeitmagazine.com


 

“Menok menook… Bothok Buuu!”


Write It - Menjelang siang, sekitar pukul 10.30 – 11.00, teriakan khas tersebut terdengar nyaring di seputar Jalan Semeru, Magetan, Jawa Timur. Ialah Tumirah, penjual sego menok yang setiap hari berjalan dan menyerukan dagangannya untuk menarik minat pembeli. Berangkat dari rumahnya di daerah Mojopurno, Tumirah berjalan mengitari sekitar Alun-Alun Magetan, Jelok, Kunden, dan Jalan Semeru guna menawarkan sego menok dan aneka lauk buatannya. 


Dibantu sehelai jarik berbahan tenun, tiap hari Tumirah berkeliling menggendong senik atau tenggok berukuran sedang berisi sego menok dan baskom sedang yang dipenuhi aneka lauk pendamping. Tak hanya itu, bawaannya makin penuh dengan menenteng tas berbahan karung beras berisi pelas dan bongko. Ditemani topi merah pudarnya, setiap pagi pukul 09.30 Tumirah mulai melangkahkan kaki menjajakan dagangan.


Aktif berjualan sejak 2003, sudah hampir dua dekade Tumirah menjajakan sego menok lengkap dengan makanan pendampingnya. Menurut Tumirah, dahulu ia menjual sego menok dengan harga Rp 200. Kini, 18 tahun kemudian sego menok buatannya dibanderol Rp 2 ribu per bungkus. Sama seperti sego menok, harga makanan pendampingnya pun paling mahal Rp 2 ribu, misalnya lintingan atau pepes ikan asin, gembrot, dan aneka bothok. Sedang lauk pendamping lain yaitu pelas dan bongko hanya dihargai Rp 1 ribu.


Sego Menok, Kuliner Khas Magetan yang Makin Sulit Ditemukan


Sêgo dalam bahasa Jawa berarti nasi. Sego menok sendiri merupakan salah satu makanan khas Magetan yang keberadaannya makin langka. Makanan yang dibungkus daun pisang ini punya rasa dan tekstur mirip dengan arem-arem. Bedanya, arem-arem memiliki isian tertentu seperti tempe maupun daging cincang berbumbu, sedangkan sego menok tidak. Bisa dikatakan kalau sego menok merupakan arem-arem tanpa isian.


Tak hanya itu, sego menok dan arem-arem juga punya perbedaan dalam hal bentuk. Jika arem-arem biasanya dibungkus layaknya lontong, maka sego menok dibungkus dengan cara di-tum, yaitu menggunakan daun pisang berbentuk persegi dengan dua ujung yang dilipat ke atas dan disematkan lidi sebagai penguncinya.


Tumirah kala melayani pembeli. Foto: MSY/writeitmagazines.com


Cara membuat sego menok pun tak jauh berbeda dengan arem-arem. Pertama-tama beras dikukus sampai kekel atau menggumpal dan agak lengket. Setelah itu angkat dan campurkan ke dalam air panas yang telah terlebih dahulu dibumbui dengan santan, garam, dan daun salam. Lalu masak hingga air berkurang atau setengah matang. Kemudian angkat, bungkus dengan daun pisang berbentuk tum, dan kukus kembali sampai matang. Untuk arem-arem, saat membungkus sekaligus ditambahkan isian sesuai selera di bagian tengahnya.


Meski bungkusannya tampak tak terlalu besarsebungkus sego menok terbilang cukup padat. Makan satu bungkus pun lumayan bikin perut kenyang. Kendati padat, dengan teknik memasak yang tepat maka tekstur yang dihasilkan bakal lembut, hampir lumer di mulut. Tambahan santan dan garam juga memberikan cita rasa gurih yang nikmat. Apalagi ditambah aneka lauk pendamping, jadi makin sedap.


Aneka Makanan Pendamping Sego Menok yang Tak Kalah Sedap


Menikmati sego menok begitu saja tanpa tambahan lauk memang sudah enak, namun bisa jadi terasa ada yang “kurang” layaknya makan bubur tanpa suwiran ayam dan kondimen lain. Penjual sego menok umumnya juga menyediakan aneka makanan pendamping lain sebagai lauk. Begitu pula yang dilakukan oleh Tumirah. Tak hanya membawa sego menok, Tumirah pun menjual lintingan/pepes ikan asin, macam-macam bothok, gembrot, pelas, dan bongko yang semuanya dibungkus menggunakan daun pisang.


Saat berkeliling, setiap hari kerja Tumirah membawa 25 bungkus sego menok dan 70 bungkus aneka lauk. Namun pada akhir pekan ia hanya menyediakan 20 bungkus sego menok dengan jumlah lauk sama seperti pada hari biasa. Bukan tanpa alasan jika sego menok yang dibawa Tumirah berjumlah lebih sedikit daripada makanan pendampingnya. Menurut Tumirah, penyebabnya karena kebanyakan pelanggannya lebih banyak yang membeli lauk. Sehingga porsi lauk yang ia bawa selalu lebih banyak daripada jumlah sego menok.


Sego menok dan aneka lauk dagangan Tumirah. Foto: MSY/writeirmagazine.com


Menurut kami, menikmati sego menok paling cocok jika dipadukan dengan lintingan. Parutan kelapa yang mendominasi isiannya menyerap sari-sari ikan asin, ebi, dan rempah tambahan, menjadikan rasa lintingan tak terlalu asin namun gurih dan sumer−sedikit pedas. Saat sego menok yang agak “berat”−terasa gurih sedikit−berpadu dengan rasa gurih, asin, dan sumer dari lintingan menghasilkan cita rasa yang nikmat tak terkira. Bukan rasa yang “mewah”, namun perpaduan kedua makanan sederhana ini justru paripurna, kaya rasa tetapi tidak berlebihan.


Cara membuat lintingan pun tak terlalu ribet. Ikan asin dibuang durinya dan disuwir, lalu dicampur dengan parutan kelapa muda yang tidak nyanten atau bukan untuk santan. Tambahan aneka rampah dan ebi berukuran kecil berguna membuat rasanya lebih ”kaya”. Setelah tercampur kemudian dibungkus dengan cara dilinting atau digulung menggunakan daun pisang dan dikukus. Saat matang lalu dipanggang sebentar, niscaya rasa ikan asin yang “menggigit” akan berganti dengan cita rasa gurih dan aroma sedap dari daun pisang.


Tak hanya lintingan, bothok juga jamak dimakan bersama dengan sego menok. Bothok memiliki rasa yang asin, gurih, dan cenderung pedas. Bothok yang dijual Tumirah kala itu adalah bothok daun singkong. Meski begitu, selain bahan utama berupa parutan kelapa muda, tempe−bosok/busuk dan waras/masih bagus−yang dihancurkan, serta aneka rempah dan bumbu seperti bawang merah, bawang putih, lengkuas, cabai, daun salam, gula dan garam, isian bothok bisa disesuaikan dengan selera si pembuat. Misalnya saja dengan menambahkan godhong so atau daun melinjo yang masih muda, daun bawang, daun pepaya, lamtoro, tempe, jantung pisang, maupun bahan lainnya.


Dari kiri ke kanan: Bothok daun singkong, gembrot, dan lintingan/pepes ikan asin. Foto: MSY/writeitmagazine.com


Lauk lain yang tahapan akhir memasaknya dengan cara dipanggang yaitu gembrot. Mirip dengan teknik memasak lintingan/pepes ikan asin, gembrot juga dibungkus dengan cara dilinting/digulung. Jika dibandingkan dengan bothok, rasa gembrot terbilang lebih “ramai”, “kental”, dan lebih pedas. Keunikan rasa tersebut berasal dari daun sembukan yang menjadi bahan utamanya.


Gembrot dibuat dari cencangan daun sembukan kemudian dicampur parutan kelapa muda, aneka rempah dan cabai, serta tempe bosok. Daun sembukan membuat gembrot kaya rasa. Rasa daunnya “pekat” dan ada aroma unik dari tanaman yang juga disebut dengan daun kentut ini. Apalagi ditambah dengan rasa dan aroma dari tempe bosok, menghasilkan cita rasa yang makin kuat.


Tekstur daun sembukan lebih lembut daripada daun singkong muda. Parutan kelapa muda menambah rasa gurih dan “krenyes” ketika dikunyah. Rasa pedas dalam sebungkus gembrot pun lebih “nendang” dibanding bothok. Tingkat kepedasan tersebut pas untuk mengimbangi kekentalan rasa daun sembukan. Meski aromanya menyengat dan rasa yang dihasilkan begitu kuat, kenikmatan makanan satu ini bisa bikin ketagihan.


Tidak seperti tiga makanan sebelumnya, pelas dan bongko tidak memiliki rasa pedas. Namun parutan kelapa muda dan bungkus daun pisang menjadi bagian inti yang tak bisa dilepaskan dari semua makanan tersebut.


Pelas terbuat dari kedelai yang direndam lalu ditumbuk setengah hancur, kemudian dicampur dengan parutan kelapa serta beragam bumbu−daun salam, bawang merah, bawang putih, kencur, dan gula. Cara membungkusnya sama seperti saat membungkus bothok. Menggunakan kedelai sebagai bahan utama, pelas memiliki warna cenderung putih. Rasanya dominan manis dan sedikit gurih dengan tambahan sedap dari daun salam.  


Sajian bongko dan pelas, lauk pelengkap sego menok. Foto: MSY/writeitmagazine.com


Rasa manis dari pelas cocok untuk lidah anak-anak. Pelas pun banyak ditemukan sebagai pelengkap hidangan dalam berbagai tradisi yang berhubungan dengan kelahiran bayi, setidaknya di daerah ujung barat Jawa Timur. Di antaranya saat acara sepasaran atau selamatan 5 hari kelahiran bayi dan pemberian nama, selapanan atau 35 hari kelahiran bayi, telung lapan atau 105 hari kelahiran bayi, dan pitung lapan atau 245 hari kelahiran bayi yang sering disebut dengan tedhak siten (turun tanah).


Makanan pendamping nasi menok lainnya adalah bongko. Sama seperti pelas, bongko memiliki rasa cenderung manis. Namun rasa manis yang dihasilkan bongko sama sekali berbeda dengan manis dari pelas. Rasa manis bongko dibarengi dengan tekstur yang creamy, jauh lebih lembut daripada pelas. Tekstur pekat tersebut dihasilkan dari kacang tolo yang lebih lunak saat dikukus dibanding dengan kacang kedelai.


Bongko terbuat dari kacang tolo yang direndam, ditumbuk, lalu dicampur dengan parutan kelapa muda. Tak lupa tambahan rempah dan bumbu untuk menghasilkan rasa sedap. Setelah itu bungkus adonan dengan daun pisang seperti cara membungkus bothok dan dikukus. Bongko memiliki warna agak merah kecokelatan yang berasal dari warna kacang tolo atau kacang merah.


Meski memiliki isian dan rasa yang berbeda namun semua makanan pendamping sego menok punya satu kesamaan yang tak bisa dipisahkan, yaitu penggunaan parutan kelapa muda. Tak cuma menambah rasa gurih, parutan kelapa muda membantu memberikan tekstur “krenyes-krenyes” sehingga diperoleh sensasi berbeda saat memakannya.


Sego Menok: Kuliner khas Magetan yang (Semoga) Tetap Lestari


Kendati sego menok merupakan makanan khas Magetan, namun keberadaannya mulai jarang ditemukan. Penjual sego menok yang cukup terkenal sebab sempat disorot beberapa media daring berada di sekitar Pasar Wisata Plaosan maupun di Sar Londho. Selain itu tak mudah menemukan penjual sego menok kecuali telah menjadi pelanggannya.


Penyebabnya, biasanya penjual sego menok menjajakan dagangannya dengan cara berjalan kaki mengitari area tertentu layaknya Tumirah. Mengetahui maupun hafal rute sang penjual sego menok tentu bakal sangat membantu untuk menemukan makanan khas Magetan ini.


Sosok Tumirah kala berjalan berkeliling menjajakan sego menok. Foto: MSY/writeitmagazine.com


Di samping itu, tak semua orang Magetan mengetahui makanan ini, apalagi kaum mudanya. Termasuk kami yang baru mengetahui keberadaan makanan khas Magetan ini setelah tanpa sengaja mendapatkan informasi dari kerabat yang juga penggemar sego menok beberapa waktu lalu.


Hanya menggunakan daun pisang sebagai pembungkus, semua makanan yang dijual Tumirah memberikan aroma yang memikat. Apalagi saat sampai di tangan kami semuanya masih cukup hangat. Berkali lipatlah kenikmatan yang kami dapatkan. Belum lagi bonus rasa yang sederhana namun “kaya”, lidah puas, perut kenyang, hati senang, dan dompet aman.


Tumirah merupakan satu dari segelintir orang yang masih bertahan menjajakan sego menok. Secara tak langsung ia pun turut melestarikan kuliner khas Magetan yang satu ini agar tetap lestari. Begitu juga dengan kami, sempat membeli serta menjajal keunikan rasanya adalah usaha terkecil yang semoga bisa membuat sego menok terus abadi.


(MSY/OTK)

Leave A Reply
  1. SEGA GENESIS - GAN-GAMING
    SEGA sol.edu.kg GENESIS. GENESIS-HANDS. communitykhabar Genesis febcasino (JP-EU). NA. NA. NA. https://octcasino.com/ SEGA GENESIS-HANDS. NA. SEGA GENESIS. NA. gri-go.com GENESIS-HANDS. NA.

    ReplyDelete